Album debut solo dari XANDEGA, bassist Polka Wars, berjudul IN-FLUX, bukan sekadar lompatan artistik—ini adalah deklarasi jujur tentang fragilitas manusia dalam menghadapi dunia yang tidak pasti. Dirilis pada 28 Mei 2025 dan dibagi ke dalam tiga babak emosional—The Dread, The Flux, dan The Thrill—album ini menyuguhkan pengalaman mendalam yang bergerak dari murung hingga euforia.
Secara teknis, IN-FLUX memadukan elektronik ambient, alternative R&B, dan club-based emotional dance music. Lanskap bunyinya terasa penuh tekstur namun tidak berlebihan. Setiap lagu memiliki pendekatan yang sadar ruang, dengan panning dan ambience yang cermat. Bassline-nya sering kali menjadi jangkar emosional—bukan sekadar fondasi ritmis, tetapi bagian dari storytelling sonik.
Beberapa lagu juga menyisipkan unsur tradisional seperti kendang dangdut dan suling, memperkuat identitas lokal di dalam atmosfer global. Pilihan ini bukan gimmick, melainkan terasa tulus sebagai penegas konteks Xandega sebagai musisi Jakarta yang tak ingin lepas dari akarnya.
Dua track yang mencuri perhatian adalah “ARMOR PIERCER” dan “TEARS IN THE CRACKS”. Pada “ARMOR PIERCER”, kolaborasi dengan J. Alfredo dan Deathless Ramz menghasilkan komposisi yang raw dan personal; vokalnya nyaris rapuh, namun justru di situlah letak kekuatannya. Liriknya ditulis dengan kejujuran yang menyayat, sementara beat-nya berdenyut tidak stabil—menegaskan tema tentang betrayal dan trust. Sementara itu, “TEARS IN THE CRACKS” muncul sebagai anthem melankolis yang menari di antara patah hati dan euforia. Drop synth-nya menyentuh tanpa mendominasi, memberi ruang bagi vokal yang rapuh untuk bersinar. Lagu ini menghadirkan momen paradoksal: membuat pendengarnya ingin berjoget sambil menahan sesak.
Jika Polka Wars adalah kanvas besar dengan goresan post-rock dan alt-pop yang sinematik, maka IN-FLUX adalah lukisan digital yang bergerak. Lebih personal, lebih elektronik, dan jauh lebih vulnerable. Xandega di sini tidak berdiri sebagai pemain latar, tetapi sebagai narator utama—dan suaranya, meski belum sempurna secara teknik, memiliki kejujuran yang sulit diabaikan. Secara konsep, ini berbanding terbalik dengan estetika besar Polka Wars. Namun secara spirit—menyampaikan keresahan manusia modern lewat musik—mereka tetap satu darah.
Mendengarkan IN-FLUX membuka ruang perbandingan dengan sejumlah musisi lokal yang juga menggabungkan musik dansa dengan lapisan emosi yang kuat—mulai dari pendekatan introspektif seperti yang pernah ditawarkan Petra Sihombing, hingga kekayaan tekstur elektronik seperti yang digarap Mantra Vutura. Namun, Xandega tampil dengan ciri khasnya sendiri: menjalin kerentanan emosional dalam aransemen yang tetap mengundang tubuh untuk bergerak. Jika album ini dipentaskan secara penuh dalam sebuah format pertunjukan yang dikurasi secara audio dan visual, bukan tidak mungkin pengalaman mendengarkannya akan berubah menjadi perayaan kolektif—sebuah momen katarsis yang halus namun mendalam.
Oleh : Bayu Fajri
