Jauh sebelum dunia disatukan oleh teknologi dan algoritma digital, industri musik Indonesia hanya tumbuh di kota-kota besar. Dan dari semua kota besar itu, Jakarta adalah porosnya. Di sinilah label-label besar bermarkas, studio-studio rekaman paling mutakhir dibangun, manajemen artis beroperasi, promotor raksasa tumbuh, dan media massa menyebarkan narasi. Segalanya berputar di ibu kota.
Mau tidak mau, siapa pun yang ingin menjejak lebih jauh dalam karier bermusik, perlu mendekat ke pusat gravitasi itu. Dewa 19, Padi, dan Boomerang dari Surabaya; Jamrud dan The Groove dari Bandung; hingga Jikustik dari Yogyakarta — semuanya hijrah ke Jakarta demi menyatukan mimpi dan peluang.
Namun hari ini, lanskapnya tampak berubah.
Digitalisasi membawa harapan. Studio dan home studio bermunculan di mana-mana. Perangkat produksi makin canggih dan terjangkau. Distribusi digital melampaui batas geografis. Festival besar dan gig komunitas tak lagi eksklusif di ibu kota — kota-kota seperti Bandung, Malang, Jogja, bahkan Denpasar dan Makassar mulai membangun ekosistemnya sendiri.
Tapi benarkah Jakarta sudah tak lagi penting?
Faktanya, masih banyak musisi dari luar Jakarta yang pada akhirnya tetap menjadikan Jakarta sebagai rumah kedua — atau rumah utama. Bukan karena tak cinta kota asal, tapi karena realita ekosistem yang belum seimbang. Akses perizinan yang rumit, kurangnya ruang pertunjukan representatif, dan jaringan distribusi yang belum solid membuat banyak talenta dari daerah terhambat tumbuh maksimal di tempat asalnya.
Memang, ada contoh sukses seperti Coldiac, Navicula, Superman Is Dead, Sheila On 7, Shaggy Dog, atau Endank Soekamti yang tetap berdomisili di kota asal mereka dan bersinar di tingkat nasional. Tapi kisah-kisah seperti ini masih jadi pengecualian — belum jadi norma.
Jakarta masih punya keunggulan: dari akses venue dan perizinan, jejaring media, hingga daya konsumsi pasar yang lebih tinggi. Jakarta tetap jadi kota dengan denyut paling kuat dalam peta industri musik nasional.
Jadi, bagaimana seharusnya?
Bukan berarti Jakarta harus dimusuhi. Tapi ekosistem industri musik perlu didesentralisasi — dibagi rata agar mimpi tumbuh merata.
Pemerintah daerah bisa ambil peran: mempermudah perizinan, membangun gedung pertunjukan, dan menyediakan ekosistem yang kondusif bagi pertumbuhan musisi lokal. Sementara pelaku swasta dan komunitas tetap jadi motor penggerak, membangun dari bawah dengan semangat kolektif.
Namun satu hal yang juga tak bisa diabaikan adalah pentingnya transparansi dan kejelasan prosedur di lapangan. Masih ada cerita soal pungutan tak resmi atau hambatan tak terlihat yang justru menghambat penyelenggaraan pertunjukan. Hal-hal seperti ini perlu dibenahi secara sistemik agar pelaku musik lokal bisa benar-benar tumbuh tanpa harus kehilangan energi di luar proses kreatifnya.
Industri musik bukan sekadar hiburan. Ia bisa jadi roda penggerak ekonomi daerah, membuka peluang kerja, dan menciptakan narasi-narasi baru yang berakar dari lokalitas. Dan di sinilah seharusnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berdiri paling depan.
Jakarta masih jadi sentral. Tapi bukan berarti daerah harus selamanya jadi pinggiran.
Saatnya bergerak bersama — agar industri ini tak hanya besar di ibu kota, tapi juga kuat di seluruh negeri.
Oleh : CakHend







