Jalaran Sadrah, Album Ketiga Barasuara yang Eklektik, dengan paduan unsur elektronik masih di jalur indie folk rock mengencangkan pegangan ambience etnik pada experimental art rock pop yang tetap estetik. Orkestra megah yang diinisiasi Erwin Gutawa dan Czech Symphony Orchestra membahana dalam trek Merayakan Fana, Terbuang dalam Waktu serta Hitam dan Biru. Tak lupa kita juga bisa mendengarkan ademnya kidung “Biyang” yang disenandungkan Sudjiwo Tedjo dengan nuansa Jawa yang diusung. Warna musik yang berkelindan ini tidak menghilangkan bunyi Barasuara yang khas.
Tiga single yang sudah rilis sebelum album rampung yaitu Terbuang dalam Waktu, Merayakan Fana dan Fatalis, lebih dulu menyabet piala AMI Awards 2023 untuk kategori Duo/Grup/Kolaborasi Rock Terbaik. Album ketiga yang dirasa ada dalam fase pasrah karena 5 tahun berjarak dari album Pikiran dan Perjalanan menempatkan Barasuara dalam kekosongan manajer dan label pada awal penggarapan 2021. Situasi pandemi yang menjadikan kita sebagai manusia-manusia etalase akhirnya menundukkan ego dalam kelemahan dan ketidakberdayaan harus menerima dan mengikuti jalan dan takdir Nya. Akhirnya bangkit lah 9 karya ini melalui Hu Shah Records dengan proses workshop yang intim dan proses rekaman yang intens hingga selesai awal tahun 2024 dan rilis pada 21 Juni 2024 tadi.
Jalaran Sadrah artinya karena pasrah. Album ini terjadi, tertulis, terselesaikan karena pasrah,” kata vokalis dan gitaris Iga Massardi tentang koleksi tembang ketiganya bersama TJ Kusuma (gitar), Marco Steffiano (drum), Asteriska (vokal), Gerald Situmorang (bas) dan Puti Chitara (vokal). Aransemen bongkar pasang dan rekaman yang berlangsung secara berkala hingga awal 2024 di berbagai studio di Jakarta, termasuk di kantor Barasuara serta kediaman Iga, Marco, Gerald dan TJ.Sementara itu, lirik di Jalaran Sadrah yang mayoritas masih ditulis oleh Iga tampak jelas terdampak oleh berbagai hal kelam yang terjadi belakangan ini.
“Habis Gelap” bukan hanya sebuah lagu tapi juga merupakan Tribut Barasuara untuk Palestina sebagai bentuk kontribusi dan dedikasi kemanusiaan melawan penindasan dan pembantaian dari Israel. Silang sengkarut disinformasi respon masyarakat menambah kelam wajah dunia juga ditangkap ke dalam single “Fatalis”. Lagu-lagu di album ini banyak menceritakan tentang kematian dalam persepsi yang beragam. Ada yang merayakan, ada yang sinis, ada yang apatis, ada yang kontemplatif. Lalu ada juga lagu yang menceritakan tentang kepulangan rasa terhadap cinta yang sejati. Secara garis besar, banyak tema yang berkaitan tentang proses hidup, lahir dan menjalankannya.
Variasi penciptaan lagu pun menjadi hal baru bagi Barasuara, sekaligus menunjukkan rasa saling percaya yang sudah terbangun selama satu dekade lebih. “Ini album yang paling kolektif pengerjaannya, karena kami sudah sama-sama saling percaya dan tahu warna masing-masing,” kata Gerald. Di samping peran Gerald yang semakin besar dalam menggubah musik Barasuara, “Hitam dan Biru” yang menggugah semangat merupakan komposisi Puti, sedangkan Asteriska menyumbang lirik yang lembut untuk “Biyang” dan “Terbuang dalam Waktu”
Bunyinya Barasuara tetap melingkupi, baik itu lagu epik penuh lika-liku berdurasi enam menit lebih macam “Antea” maupun lagu rock yang relatif simpel seperti“Etalase” dan “Manusia (Sumarah)”.
Pesan untuk para penunggang badai untuk bersama-sama Barasuara menunggangi kembali badai yang terjadi di dunia dan bahkan diri sendiri tersirat jelas dalam lika-liku kegilaan yang berujung damai bernama Jalaran Sadrah ini. Api dan lentera selama 12 tahun ini masih tak kunjung padam.
(Agung Setiawan)


