RilisanRilisan Baru

Monita Tahalea – Merona: Album tentang Warna, Rasa, dan Rangkaian Kejujuran

Di usia 20 tahun perjalanan musiknya, Monita Tahalea tidak hadir dengan pesta besar atau jargon “comeback”. Ia justru merilis Merona, sebuah album yang tenang namun tajam, intim namun lapang. Ini bukan sekadar koleksi lagu cinta, tapi cermin rasa yang tak selalu bisa dijelaskan, hanya bisa dirasakan.

Kata merona sendiri merujuk pada rona kemerahan, seperti pipi yang bersemu atau langit senja yang hangat. Namun di tangan Monita, Merona menjadi lebih dari sekadar warna, ia adalah metafora tentang bagaimana cinta hadir, tumbuh, mengakar, dan kadang pergi tanpa pamit.

Dalam sembilan lagu yang tersaji, Monita tidak hanya menyanyi, tapi merangkai rasa menjadi ruang kontemplatif. Kita dibawa menyusuri lanskap emosional yang tidak dibuat-buat: dari nostalgia dalam “Angan”, alunan ala citypop dengan sisipan Bahasa Jepang di “Bunga di Tepi Jalan”, hingga spiritualitas halus dalam “Kehidupan”.

Diproduseri bersama Lie Indra Perkasa, dan berkolaborasi dengan musisi-musisi seperti Sri Hanuraga, Rachel Victoria, Yoseph Sitompul, hingga Kevin Jonathan, album ini terasa berlapis namun tidak ribet. Aransemen-aransemen yang terdengar sederhana ternyata penuh detail kecil yang mengendap di telinga. Merona terinspirasi dari sentuhan musik tahun 80-an, tapi tidak pernah terdengar seperti upaya nostalgia. Ia justru menjadi jembatan emosional yang tak terikat waktu.

Beberapa highlight dari album ini:

  • “Matcha with the Sun” terdengar seperti sore yang panjang, ringan tapi dalam. Petikan ukulele dan vokal naif Monita mengingatkan kita akan kehangatan kecil yang sering terlupa.
  • “Mr. Moon” menyatukan suara elektronik dengan sentuhan folk kontemporer yang sinematik.
  • “Kawan” menjadi trek paling kolektif secara aransemen dan emosi, menampilkan harmoni Bayu Risa dan Ranya Badudu dalam balutan produksi Yoseph Sitompul.

Secara produksi, album ini tidak berusaha menonjol secara megah. Tidak ada beat yang agresif atau hook yang catchy secara instan. Justru di situlah kekuatannya. Merona dibiarkan bernafas. Ia tidak mencoba mendominasi, hanya menemani.

Vokal Monita, seperti biasa, tidak pernah berniat memukau secara teknis. Tapi justru dalam kesederhanaan itu, ia menjadi sangat menghipnotis. Setiap kata terdengar seperti bisikan di telinga, bukan teriakan dari panggung. Ia menyampaikan, bukan memamerkan.

Merona adalah album yang mengizinkan kita merasa, tanpa harus menyebutnya secara gamblang. Dalam era yang terbiasa dengan over-sharing dan kejutan instan, Monita memilih jalan sebaliknya: keheningan, kedalaman, dan kejujuran. Dan justru di situlah kekuatannya. Album ini tidak berusaha menjadi relevan, ia hanya jujur. Dan itu lebih dari cukup.

Oleh Bayu Fajri

Shares:

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *