Jika ada satu lagu lokal terbaru yang layak disebut sebagai pengingat paling tenang akan cinta tanpa syarat, maka “Masih Ada Waktunya” dari Nadhif Basalamah harus masuk dalam daftar pendek. Dirilis sebagai bagian dari rangkaian menuju deluxe album Nadhif: Laman Berikutnya, lagu ini tidak hanya menyentuh tema yang sangat personal, tapi juga dibalut produksi yang intimate tanpa harus terlalu pretensius.
Liriknya hadir sebagai surat terbuka untuk sosok ibu—tanpa dramatisasi berlebihan, hanya rasa kagum yang tulus dan harapan kecil dari seorang anak untuk membalas kasih. “Semoga kau masih ada waktunya // tuk melihat diriku berguna” menjadi mantra paling jujur dari lagu ini. Sebuah kalimat yang terasa sederhana, tapi menyimpan beban emosional yang sangat manusiawi: kita ingin membahagiakan orang tua kita, tapi waktu kadang tak sepenuhnya berpihak.
Secara musikal, keterlibatan Petra Sihombing sebagai produser terasa kentara. Aransemen minimalis namun hangat jadi highlight utama—dengan harmoni gitar nylon yang organik, beat yang tidak mencuri perhatian, dan lapisan string subtil yang muncul di momen-momen tepat. Petra tahu kapan harus stay out of the way, memberi ruang bagi vokal Nadhif untuk bernyanyi sejujur-jujurnya. Nadhif sendiri tampil lebih matang secara dinamika vokal: phrasing-nya lebih sabar, teknik napasnya terdengar lebih stabil, dan ada keberanian untuk membiarkan silence bekerja.
Dari sisi mixing, frekuensi rendah cukup bersih, walau di beberapa bagian terasa terlalu hati-hati sehingga sedikit kehilangan “body” terutama di sistem playback yang lebih flat. Tapi bisa dimaklumi mengingat target emosional lagu ini bukan untuk meledak, tapi menghangatkan. Di titik ini, keputusan estetik seperti itu justru menunjukkan karakter artistik Nadhif yang makin solid.
Menariknya, lagu ini juga tidak membebani dirinya dengan gimmick visual atau promo berlebihan. “Masih Ada Waktunya” seperti bicara lirih di tengah keramaian industri musik yang makin gaduh, dan mungkin justru di sanalah kekuatannya: ia tidak meminta perhatian, tapi membuat kita ingin berhenti sejenak untuk mendengarkan.
Oleh Bayu Fajri







