Di tengah krisis kepercayaan budaya yang terus terkikis oleh arus globalisasi dan invasi K-Pop serta budaya pop Barat yang nyaris tanpa celah, Diskoria hadir seperti pahlawan berbalut glitter: meriah, percaya diri, dan sepenuhnya Indonesia. Album perdana mereka, “INTONESIA”, bukan sekadar rilisan musik—ini adalah pernyataan sikap. Sebuah ajakan untuk menoleh ke belakang bukan untuk mundur, tapi untuk menemukan kembali pijakan musikal yang sempat membuat bangsa ini begitu hidup.
Setelah satu dekade menyuntikkan semangat disko klasik ke skena musik Indonesia, akhirnya duo ini melahirkan album penuh yang mewakili puncak dari perjalanan mereka: penuh nostalgia, semarak kolaborasi, dan diisi oleh semangat lintas generasi. Tidak tanggung-tanggung, INTONESIA menghadirkan 11 nomor yang ditata seperti pesta—dari ballroom 70-an hingga pesta kebun 80-an, lengkap dengan kolaborator lintas spektrum mulai dari Najwa Shihab, Chelsea Islan, Ayu Gani, Danilla, Eva Celia, Nino, hingga Tatjana Saphira.
Setiap lagu terasa seperti fragmen dari negeri bernama Indonesia, yang dirayakan dengan warna-warni aransemen, pemilihan vokal yang tidak asal tempel, dan lirik-lirik puitis yang terasa jujur. Ini bukan sekadar album pop dengan gimmick retro—INTONESIA adalah surat cinta yang terang-terangan untuk kejayaan musik Indonesia di masa lalu.
Lihat saja bagaimana mereka menyajikan “Selamat Ulang Tahun” bersama Andien, Laleilmanino, dan Bandung Jazz Orchestra. Lagu yang biasanya hanya jadi jingle perayaan singkat, kini berubah menjadi anthem budaya yang meriah dan berkelas. Format big band jazz bukan sekadar nostalgia, tapi simbol selebrasi yang elegan. Lagu ini terasa seperti upaya kolektif untuk mengangkat kembali musik seremonial Indonesia ke tempat yang lebih terhormat, sekaligus membuktikan bahwa momen universal seperti ulang tahun pun bisa dikemas dengan kemegahan musikal tanpa kehilangan kesederhanaannya.
Secara musikal, ini adalah karya yang solid. Diskoria, yang kini memasuki babak baru setelah perpisahan dengan Fadli Aat dan menyambut formasi anyar bersama Rayi Raditia dan Pandji Dharma, tidak kehilangan arah. Transisi formasi bukan titik lemah, melainkan justru simbol regenerasi yang tetap membawa esensi disko klasik sambil membuka jendela baru untuk eksplorasi sonik.
Menariknya, di tengah dunia yang gaduh oleh ketidakpastian geopolitik dan kekacauan ekonomi (halo perang dagang), INTONESIA terasa seperti oasis. Di saat rasa percaya diri nasional sedang susut, Diskoria justru mengajak kita bersuka cita atas identitas budaya yang kita miliki. Mereka tidak sedang bernostalgia, mereka sedang mengarsipkan masa depan—dengan cara paling meriah yang bisa dibayangkan.
Album ini adalah bukti bahwa “menjadi Indonesia” tidak harus selalu serius dan berat. Bisa juga datang dari denting synth manis, gebukan drum elektronik, dan suara-suara familiar yang membangkitkan memori masa kecil.
Diskoria bukan sekadar bernyanyi tentang Indonesia—mereka menghidupkannya kembali. Dan kami, dengan segenap kerinduan akan jati diri musikal bangsa, memilih untuk berdansa bersamanya.
Oleh : Bayu Fajri








