Dua puluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah festival. Apalagi festival musik — ranah yang sering dipenuhi perubahan tren, persoalan dana, dan drama internal. Tapi Java Jazz Festival berhasil melewati semuanya. Dari tahun ke tahun, dari satu generasi ke generasi berikutnya, festival ini tetap jadi landmark. Bukan hanya untuk musik jazz, tapi untuk sebuah standar pengorganisasian festival musik berskala internasional di Indonesia.
Sejak 2005, Java Jazz hadir penuh dedikasi, menyuguhkan nama-nama penting dari semesta jazz. Daftar alumninya nyaris seperti lembar sejarah hidup genre itu sendiri: Herbie Hancock, Ron Carter, Marcus Miller, Chick Corea, Brad Mehldau, Pat Metheny, Stevie Wonder, hingga Sting — semua pernah menjejak panggung Java Jazz. Dan tentu, nama-nama musisi jazz lokal seperti Oele Pattiselanno, Candra Darusman, Tohpati, hingga Dewa Budjana pun kerap jadi tuan rumah yang tak kalah istimewa.
Awalnya digelar di Jakarta Convention Center, festival ini kemudian pindah ke JIExpo Kemayoran sejak 2010, memperluas wilayahnya menjadi semacam desa musik sementara: 12 panggung indoor dan outdoor, tata suara dan pencahayaan kelas dunia, hingga manajemen kerumunan yang terasa rapi tanpa kehilangan nuansa festivalnya. Java Jazz adalah bentuk paling nyata dari stress release yang terkurasi dengan elegan.
Sejak edisi pertamanya, Java Jazz bukan hanya bertahan — tapi juga berkembang menjadi semacam inspirasi hidup bagi festival jazz lainnya: Prambanan Jazz, Jazz Bromo, Jazz Traffic, Ngayogjazz dan banyak lagi. Bisa dibilang, Indonesia adalah salah satu negara dengan festival jazz paling banyak yang diadakan rutin setiap tahun. Sebuah prestasi kolektif yang berawal dari konsistensi satu nama: Java Jazz Festival.
Meski begitu, tidak ada keberhasilan yang datang tanpa tantangan. Menurut Nikita Dompas, program director Java Jazz, tantangan terbesarnya adalah menyajikan keragaman cabang-cabang jazz yang begitu luas, sambil tetap menjaga keseimbangan antara musisi global yang sudah terbukti kuat secara penjualan tiket, legenda jazz Indonesia yang layak diberikan ruang, dan talenta muda yang tengah naik daun. “Semuanya harus hadir — karena di Java Jazz, semua akar dan ranting jazz punya hak untuk tumbuh,” begitu kira-kira semangat kurasinya.
Tak hanya urusan artistik, penyelenggara juga dihadapkan pada proses teknis yang rumit: dari pengurusan visa, regulasi lokal, sponsor, hingga riders yang kadang absurd tapi wajib dipenuhi. Namun semua itu terbayar lunas — bukan hanya karena Java Jazz membawa nama Indonesia ke peta festival dunia, tapi juga karena ia telah menjadi bagian dari penyumbang devisa lewat hadirnya ribuan penonton asing tiap tahunnya.
Setelah dua dekade berjalan, Java Jazz masih terasa hidup dan muda. Tahun ini, lineup-nya tetap dinamis dan menggoda: Jacob Collier, Tunde, Kamasi Washington, Snarky Puppy, Michael Mayo, Yussef Dayes, Raye, hingga Lettuce. Sementara dari lini lokal, nama-nama seperti Tompi, Bilal Indrajaya, Wijaya 80, dan NonaRia x Hornstars Big Band akan menunjukkan bahwa jazz Indonesia pun tak pernah kehilangan vitalitasnya.
Java Jazz 2025 akan digelar di JIExpo Kemayoran, 30–31 Mei dan 1 Juni 2025. Tiket sudah tersedia di www.javajazzfestival.com.
Dua dekade berjalan, dan festival ini belum kehilangan satu langkah pun. Java Jazz tetap elegan di tengah keramaian, tetap intim di tengah kejayaan.
Oleh : CakHend
