Kontemplasi EditorialUlasan Mendalam

Apakah “Viral” Kini Menjadi Standar Baru Pencapaian dalam Industri Musik?

Di era digital saat ini, apakah sebuah karya musik yang viral di media sosial dapat dianggap sebagai standar baru pencapaian bagi sorang musisi? Sebelum industri musik dikuasai oleh dunia digital, kesuksesan sebuah karya diukur berdasarkan jumlah penjualan rilisan fisik dalam kurun waktu tertentu. Dewa 19 dan Sheila on 7 misalnya, pernah mencatat angka penjualan kaset dan CD terbesar di masanya.

Seiring peralihan ke era digital, ukuran kesuksesan pun bergeser. Digital streaming di berbagai Digital Service Provider (DSP) menjadi tolak ukur utama. Namun, yang terkini media sosial, terutama TikTok, mulai mendominasi dalam menentukan popularitas sebuah lagu. Karya yang berhasil menembus algoritma dan viral di platform ini sering kali diikuti oleh peningkatan jumlah pendengar dan popularitas sang musisi. Apakah ini menjadi tolak ukur baru dalam industri musik?

Dahulu, lagu-lagu baru dipasarkan melalui media atau pers. Label rekaman dan publicist mengirimkan rilisan kepada para kurator musik untuk mendapatkan ulasan yang objektif. Hasil kurasi ini kemudian menjadi acuan bagi audiens dalam menentukan musik yang layak didengar, menjadikannya sebagai strategi pemasaran satu arah.

Kini, era media sosial telah membalikkan proses tersebut. Audiens menentukan sendiri apa yang ingin mereka dengarkan, baik melalui pencarian mandiri maupun rekomendasi dari Key Opinion Leader (KOL). Berbeda dengan kurator musik yang memiliki pertimbangan objektif dalam memilih karya yang dipublikasikan, KOL lebih berfokus pada daya tarik konten tanpa memperhitungkan aspek musikal secara mendalam. Fenomena ini membuat strategi pemasaran berubah drastis. Anggaran promosi yang dulu dialokasikan untuk media kini lebih banyak diarahkan ke KOL dan media sosial—dan hasilnya terbukti efektif.

Jika standar yang digunakan adalah tingkat viralitas, maka strategi dalam menciptakan karya menjadi suatu keharusan. Sebelum sebuah lagu diproduksi, riset pasar diperlukan untuk memahami tren yang sedang populer. Mulai dari konsep tema, nuansa musik, hingga segmentasi pasar harus dirancang agar memiliki peluang lebih besar untuk diterima. Musisi seperti Oslo Ibrahim misalnya yang melalu postingan media sosialnya secara terang-terangan menyampaikan keinginannya untuk bisa memiliki lagu yang viral di 2025 ini dan akan mencoba berbagai strategi untuk mencapainya.

Salah satu strategi juga yang kerap digunakan adalah membangkitkan kembali kejayaan musik era 80-an hingga 90-an. Musik pop Indonesia di era tersebut, seperti karya Guruh Soekarno Putra & Gypsy, Jockie Suryoprayogo, Chrisye, Elfa’s Singers, Ruth Sahanaya, dan Fariz RM, bisa menjadi inspirasi dalam menciptakan karya baru. Wijaya 80, misalnya, berhasil mengadopsi strategi ini dengan pendekatan yang tepat.

Kemajuan teknologi tak bisa dihindari, dan industri musik harus beradaptasi tanpa kehilangan literasi musikal. Penyebaran lagu ke pendengar kini semakin cepat, tetapi juga semakin singkat. Konsumen cenderung lebih menyukai format single dibanding album penuh. Di tengah arus digital yang berkembang pesat, kurasi musik oleh media perlu kembali diperkuat, bukan sekadar menyajikan playlist mingguan, tetapi juga membedah aspek kreatif dan artistik sebuah lagu.

Apakah viralitas bisa menjadi standar utama dalam industri musik? Jawabannya ada pada pilihan masing-masing

-CakHend

Shares:

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *